Intelektualitas dan Psikologi dalam Novel Belenggu
Ketiga tokoh dalam novel ini Tono, Tini dan Yah
digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki intelektualitas tinggi. Tono
seorang dokter yang sangat berdedikasi tinggi dan memiliki jiwa sosial yang
sangat tinggi pada bidangnya. Tono suka menolong pasiennya yang susah dalam hal
materi dengan tidak meminta upah setelah mengobati pasiennya. Tini adalah istri
Tono, ia menginginkan bisa menjadi seorang istri atau ibu rumah tangga yang
juga bisa memiliki aktivitas di luar rumah seperti menjadi aktivis sosial. Tetapi setelah menikah dengan
Tono keinginan itu tidak dapat terwujud, karena Tono ingin memiliki seorang
istri yang bisa memberikan perhatian penuh kepadanya. Sedangkan, Yah adalah seorang pelacur yang
sangat intelek karena ia sering membaca buku. Yah akhirnya menjadi selingkuhan
Tono, saat Tono sedang jenuh dengan hubungannya bersama Tini.
Perang
batin antara ketiga tokoh ini sangat jelas, saat kecerdasan dinilai sebagai
sebuah pekerjaan yang baik dan menyampingkan urusan pribadi seperti
‘berkeluarga’. Tokoh Tono sangat professional terhadap pekerjaannya sebagai
seorang dokter, ia sangat mencintai pasien-pasiennya. Tetapi, ia tidak
mencintai istrinya. Karena di dalam otaknya, di dalam dirinya ia hanya
memprioritaskan pada pekerjaannya sehingga Tini (istrinya) merasa terabaikan.
Tini pun juga begitu. Ia ingin menjadi seorang istri yang bisa sambil bekerja
(menjadi seorang aktivis sosial di luar rumah). Ia tidak ingin hidupnya hanya berputar
di rumah saja, ngurusin suami saja. Tini juga ingin memiliki pekerjaan lain
seperti Tono yang bisa menjadi suami dan bisa menjadi dokter, walaupun tidak
ada keadilan di antara dua aktivitas itu. Perasaan Tini digambarkan melalui
dialog surat bersama sahabatnya Tati;
“Yu, Yu,
benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau
kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita,
kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian,
benarkah kita belum benar-benar kasih dia? Aku bingung, Yu, bukankah kita berhak
juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan
kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu.” (hlm.71).
Pada akhirnya Tini memutuskan untuk bercerai dengan
Tono, lalu melakukan apa yang selama ini ia inginkan yaitu mengabdi di sebuah
panti asuhan di daerah Surabaya. Setelah kepergian Tini, Yah pun pergi ke
Calidonia meninggalkan Tono sendiri.
Di
dalam kehidupan era modernitas dan globalisasi ini kecerdasan sangat dituntut
untuk memperoleh pekerjaan yang baik dan posisi yang nyaman. Jika posisi atau
jabatan yang nyaman sudah didapatkan janganlah pula melupakan hal yang lebih
penting. Seperti tono mengbaikan istrinya dan Tini (istrinya) tidak bisa
melakukan hal lain selain tugasnya menjadi seorang istri yang hanya
diperlakukan seperti barang simpanan. Itulah yang menjadi akar hancunya rumah
tangga mereka. Akhirnya profesionalisme pekerjaan lebih berarti dibanding
apapun.
Masing-masing dalam novel ini
terkait dengan kepentingan nilai subjektifnya yang terbentuk melalui pendidikan
dan pengalaman hidupnya. Para tokoh berada dalam belenggu arus transisi. Tini,
yang mulai berkenalan dengan emansipasi wanita, terbelenggu dalam perjuangannya
sebagai aktivis sosial yang justru menjauhkannya dari Tono. Sementara itu, Tono
terbelenggu oleh angan-angannya tentang sosok ideal seorang istri dokter yang
mestinya dapat membantu dan mendukung prifesi suaminya. Sedangkan Yah berada
dalam proses transisi dari belenggu masa lalunya yang kelam.
1 komentar:
Write komentarada versi pdf kah mbak
ReplyKomentar