Westernisasi dan Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan
Orang
Minang dikenal dengan kesalehannya. Biasanya orang Minang sejak kecil sudah
diajarkan hal-hal yang berbau agama, jadi tidak heran kalau orang Minang sangat
patuh menjalankan perintah Allah seperti solat dan puasa. Bagi orang Minang
yang dikatakan berbudaya itu adalah orang yang
memakai dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama, adat dan budaya Minangkabau
itu sendiri bahkan sebagai pakaian hidup masyarakat Minangkabau. Tokoh Hanafi
yang digambarkan dalam novel “Salah
Asuhan” sangat tidak mencerminkan bahwa ia lahir di Solok atau keturunan
Minang. Hanafi yang sejak kecil tidak mengenal sosok ayah, tumbuh dan besar
bersama ibu yang sangat menyayanginya. Ibu mendidiknya hingga ia menjadi
seorang anak yang pandai dan berpendidikan dengan menyekolahkan Hanafi di HBS. Selama
bersekolah di Betawi Hanafi dititipkan di keluarga Belanda, sehingga
kehidupannya sehari-hari tidak bernah lepas dengan orang-orang Eropa. Karena
kebiasaan, kehidupan Hanafi mulai menyimpang semenjak ia bergaul dengan
orang-orang Eropa. Ia mentransfer ilmu kebarat-baratannya ke hal yang
negatif, menjadi anak yang durhaka
kepada ibunya. Ia tidak mau diatur dan dididik dengan cara ibunya;
“Maka tiadalah ia
segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah sewaan di Solok itu secara
yang dikehendaki oleh anaknya. Hanafi berkata, bahwa ia dari kecilnya hidup di
dalam rumah orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan
mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.” (hlm. 24).
Hanafi menganggap dirinya orang Belanda,
itu menjadikannya sosok yang sombong bahkan dengan ibunya sendiri dan
menganggap orang Melayu lebih rendah daripada orang Belanda.
“Tapi sepanjang hari
orang tua itu termangu-mangu saja, karena dari beranda muka sampai ke dapur dan
kamar mandi diperbuat secara aturan rumah orang Belanda. Perempuan Bumiputra
dari kampong memang lebih senang duduk bersimpuh daripada duduk di atas kursi.
Ia gemar sekali berkunjung-kunjungan dengan orang lain. Tempat sirih, tempat ludahnya
dan dapur, itulah barang-barang yang sangat digemarinya melihat setiap hari
itulah dunianya.” (hlm.24).
Sifat Hanafi sudah lari terlalu jauh
dari adat istiadat orang Minang yang terkenal patuh menjalankan perintah Allah.
“Yang sangat menyedihkan
hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa
Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan
orang Melayu, dicatat dan dicemoohkannya, sampai kepada adat lembaga orang
Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga
disebutkan ‘kuno’, agama Islam ‘takhyul’. Tidak heran, ia hidup tersisih benar
dari pergaulan orang Melayu. Hanyalah kepada ibunya ada melekat hatinya.”
(hlm.25).
Karna ibu
Hanafi sangat berpegang teguh terhadap nilai-nilai adat dan budayanya, ketika
Hanafi sakit ia memanggil seorang dukun. Tetapi, gaya hidup kebarat-baratan
membuat Hanafi tidak suka berobat ke dukun. Ia lebih suka berobat ke dokter.
“Lain daripada dokter
dukun pun senantiasa menjaga Hanafi. Ia sendiri tidak suka melihat dukun itu.
Jangankan obat dukun hendak diminumnya, dihampiri saja ia tak suka.” (hlm. 62).
Hanafi telah melupakan norma-norma yang
ada dalam adat Minang. Ia telah mencoreng nama Minang dengan melakukan
pergaulan bebas dengan seorang gadis keturunan Eropa bernama Corrie yang
dikenalnya semenjak ia sekolah di HBS. Semenjak sekolah di HBS dalam keseharian
hubungan Hanafi dengan Corrie memang sangat dekat seperti sepasang kakak adik,
bahkan waktu telah membuat hubungan mereka lebih dari sekedar kakak dan adik.
Mereka menjalin asmara sampai akhirnya menikah. Percampuran dua kebudayaan yang
berbeda itu menyebabkan sifat Hanafi semakin bertolak belakang dengan adat yang
ia miliki. Ketika menikah Hanafi tidak ingin memakai baju adat minang “Baju Batabue”, yang maksudnya baju yang ditaburi dengan benang
emas. Tetapi, Hanafi lebih memilih menggunakan jas saat pernikahannya.
Komentar