Westernisasi dan Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan

02.57.00 0 Comments A+ a-




Orang Minang dikenal dengan kesalehannya. Biasanya orang Minang sejak kecil sudah diajarkan hal-hal yang berbau agama, jadi tidak heran kalau orang Minang sangat patuh menjalankan perintah Allah seperti solat dan puasa. Bagi orang Minang yang dikatakan berbudaya itu adalah orang yang memakai dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama, adat dan budaya Minangkabau itu sendiri bahkan sebagai pakaian hidup masyarakat Minangkabau. Tokoh Hanafi yang digambarkan dalam novel “Salah Asuhan” sangat tidak mencerminkan bahwa ia lahir di Solok atau keturunan Minang. Hanafi yang sejak kecil tidak mengenal sosok ayah, tumbuh dan besar bersama ibu yang sangat menyayanginya. Ibu mendidiknya hingga ia menjadi seorang anak yang pandai dan berpendidikan dengan menyekolahkan Hanafi di HBS. Selama bersekolah di Betawi Hanafi dititipkan di keluarga Belanda, sehingga kehidupannya sehari-hari tidak bernah lepas dengan orang-orang Eropa. Karena kebiasaan, kehidupan Hanafi mulai menyimpang semenjak ia bergaul dengan orang-orang Eropa. Ia mentransfer ilmu kebarat-baratannya ke hal yang negatif,  menjadi anak yang durhaka kepada ibunya. Ia tidak mau diatur dan dididik dengan cara ibunya;
Maka tiadalah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah sewaan di Solok itu secara yang dikehendaki oleh anaknya. Hanafi berkata, bahwa ia dari kecilnya hidup di dalam rumah orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.” (hlm. 24).

Hanafi menganggap dirinya orang Belanda, itu menjadikannya sosok yang sombong bahkan dengan ibunya sendiri dan menganggap orang Melayu lebih rendah daripada orang Belanda. 

Tapi sepanjang hari orang tua itu termangu-mangu saja, karena dari beranda muka sampai ke dapur dan kamar mandi diperbuat secara aturan rumah orang Belanda. Perempuan Bumiputra dari kampong memang lebih senang duduk bersimpuh daripada duduk di atas kursi. Ia gemar sekali berkunjung-kunjungan dengan orang lain. Tempat sirih, tempat ludahnya dan dapur, itulah barang-barang yang sangat digemarinya melihat setiap hari itulah dunianya.” (hlm.24).


Sifat Hanafi sudah lari terlalu jauh dari adat istiadat orang Minang yang terkenal patuh menjalankan perintah Allah.
Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan dicemoohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga disebutkan ‘kuno’, agama Islam ‘takhyul’. Tidak heran, ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu. Hanyalah kepada ibunya ada melekat hatinya.” (hlm.25).

            Karna ibu Hanafi sangat berpegang teguh terhadap nilai-nilai adat dan budayanya, ketika Hanafi sakit ia memanggil seorang dukun. Tetapi, gaya hidup kebarat-baratan membuat Hanafi tidak suka berobat ke dukun. Ia lebih suka berobat ke dokter.
Lain daripada dokter dukun pun senantiasa menjaga Hanafi. Ia sendiri tidak suka melihat dukun itu. Jangankan obat dukun hendak diminumnya, dihampiri saja ia tak suka.” (hlm. 62).

Hanafi telah melupakan norma-norma yang ada dalam adat Minang. Ia telah mencoreng nama Minang dengan melakukan pergaulan bebas dengan seorang gadis keturunan Eropa bernama Corrie yang dikenalnya semenjak ia sekolah di HBS. Semenjak sekolah di HBS dalam keseharian hubungan Hanafi dengan Corrie memang sangat dekat seperti sepasang kakak adik, bahkan waktu telah membuat hubungan mereka lebih dari sekedar kakak dan adik. Mereka menjalin asmara sampai akhirnya menikah. Percampuran dua kebudayaan yang berbeda itu menyebabkan sifat Hanafi semakin bertolak belakang dengan adat yang ia miliki. Ketika menikah Hanafi tidak ingin memakai baju adat minang Baju Batabue”, yang maksudnya baju yang ditaburi dengan benang emas. Tetapi, Hanafi lebih memilih menggunakan jas saat pernikahannya.

Komentar